Di tahun 1982, film Blade Runner dengan sinematografinya yang apik menampilkan mobil terbang. Bayangkan di penghujung film itu seseorang dengan penuh keyakinan berkata bahwa suatu hari nanti langit akan dipenuhi mobil terbang seperti di film science fiction ini, siapa saja yang mendengar mungkin akan memasang wajah skeptis atau justru terperangah karena terkesima akan ide tersebut. Namun sikap skeptis dan keterkejutan tersebut tidak berlaku bagi kita saat ini, masyarakat yang diklaim sebagai Society 5.0. Sebagai Society 5.0, kita dihadapkan pada perubahan masyarakat yang didorong oleh inovasi teknologi dan digitalisasi.
Bahkan sejak bertransisi dari masa pandemi ke new normal, dunia kesehatan tampaknya terbiasa dengan munculnya inovasi dan teknologi baru yang diterapkan dalam layanan kesehatan. Mulai dari layanan telemedisin (telemedicine), hingga kini yang teranyar berupa operasi telerobotik (telerobotic surgery).
Dalam situs Sehat Negeriku milik Kementerian Kesehatan, operasi telerobotik dijelaskan sebagai metode bedah jarak jauh yang memanfaatkan teknologi robotik dan jaringan nirkabel. Dengan kata lain, operasi bedah dilakukan oleh dokter dengan bantuan teknologi robot kepada pasien yang terpisah jarak dan tempat.
Awalnya konsep bedah jarak jauh (telesurgery) ini dikembangkan oleh NASA demi kepentingan untuk merawat astronot di luar angkasa, namun sejarah mencatat bahwa operasi telerobotik pertama yang sukses dilakukan dikenal dengan nama operasi Lindbergh, yaitu operasi bedah jarak jauh yang dilakukan oleh Profesor Jacques Marescaux kepada seorang pasien di Strasbourg, Perancis pada 7 September 2001.
Setelah itu meski sempat mengalami stagnasi karena keterbatasan jaringan, akhirnya perkembangan teknologi telesurgery ini bangkit kembali sejak inovasi kecerdasan buatan (AI), haptics technology, nanotechnology dan teknologi komunikasi 5G merambah dunia.
Dunia kesehatan begitu bergairah, terlebih ketika pada tanggal 30 Agustus 2024 lalu ditorehkan sejarah keberhasilan para dokter ahli di bidang urologi yang sukses melakukan operasi telerobotik pertama dari RS I.G.N.G Ngoerah Bali kepada pasien yang berada di RSCM Jakarta yang terpisah jarak 1200 km. Sebuah keniscayaan bahwa pemerintah dan dunia kesehatan berbangga dengan pencapaian ini, lalu bagaimana dengan masyarakat hukum?
Bukan rahasia lagi bahwa perkembangan teknologi selalu cepat, sedangkan peraturan dan norma hukum tertatih-tatih mengejar kemajuan teknologi sebagaimana adagium yang sangat dikenal oleh para mahasiswa hukum di semester awal perkuliahan yang berbunyi ‘het recht hink achter de feeiten aan’, bahwa hukum berjalan tertatih-tatih di belakang peristiwanya karena hukum merupakan peraturan yang statis namun mengatur peristiwa yang dinamis.
Di antara keuntungan-keuntungan implementasi layanan operasi telerobotik (antara lain: mengatasi kekurangan dokter spesialis bedah di rumah sakit tertentu; mengatasi hambatan jarak dan geografis; meningkatkan akses kesehatan kepada masyarakat di daerah yang tidak terjangkau layanan kesehatan; teknologi yang menghasilkan layanan bedah yang berkualitas tinggi dan minim komplikasi pasca pembedahan; menurunkan beban keuangan dan risiko perjalanan jarak jauh), terdapat pula implikasi hukum terkait persoalan pertanggungjawaban hukum (legal liability) apabila terjadi kejadian yang tidak diharapkan (adverse events) atau KTD.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2017 tentang Keselamatan Pasien, kejadian yang tidak diharapkan (adverse events) atau KTD merupakan insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien. Adverse events atau KTD bisa mengakibatkan kematian, cedera permanen, atau cedera berat yang temporer dan membutuhkan intervensi untuk mempertahankan kehidupan, baik fisik maupun psikis, yang tidak terkait dengan perjalanan penyakit atau keadaan pasien, yang disebut kejadian sentinel.
Antara pelaksanaan operasi telerobotik dan KTD, terdapat risiko hukum berupa tuntutan hukum oleh pasien yang dalam tulisan ini difokuskan pada tuntutan ganti kerugian. Dari masalah inilah, penentuan pertanggungjawaban hukum atas terjadinyaKTD dalam tindakan operasi telerobotik dinilai lebih kompleks dan rumit dibandingkan dengan operasi medis umumnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: absennya peraturan khusus yang mengatur operasi telerobotik, keterlibatan banyak pihak (multi-party), dan eksistensi dalil volenti non fit iniuiria.
- Absennya Peraturan Yang Mengatur Operasi Telerobotik.
- Peraturan yang khusus mengatur operasi telerobotik merupakan urgensi dan keniscayaan. Dalam operasi telerobotik, dokter bedah sekaligus merupakan operator dari teknologi robotik dalam melaksanakan tindakan operasi. Itulah mengapa dokter bedah tidak hanya harus ahli di bidangnya, namun juga harus memiliki keahlian sebagai operator robot yang seharusnya diperolehnya melalui pelatihan teknis. Apabila tidak ada peraturan yang mewajibkan standar dan kredensial tertentu yang harus dimiliki dokter bedah operator telerobotik, akan sulit untuk menentukan apakah dokter bedah yang bersangkutan merupakan dokter yang memiliki kewenangan klinis sekaligus keahlian untuk melakukan operasi telerobotik. Apabila dokter tidak punya kewenangan klinis dan keahlian sebagai dokter operator telerobotik, ketika terjadi KTD timbul pertanggungjawaban hukum dan dapat dituntut. Di dalam peraturan juga harus diatur bahwa persetujuan tindakan operasi telerobotik (informed consent) harus memuat informasi yang spesifik terkait kemampuan teknologi telerobotik dan potensi risiko yang mungkin timbul termasuk opsi alternatif, karena informasi yang memadai dapat memengaruhi persetujuan (consent) dan kepercayaan (trust) pasien.
- Keterlibatan Banyak Pihak (Multi–Party).
Dalam operasi telerobotik, tidak hanya tim dokter bedah yang terlibat, namun juga tim dokter anestesi, tim perawat, asisten operator, dan tidak hanya di satu rumah sakit namun dua rumah sakit. Tentu akan menjadi tantangan untuk menentukan pertanggungjawaban hukum apabila terdapat banyak pihak, sedangkan menurut hukum kedokteran, untuk menuntut ganti kerugian harus dapat dibuktikan unsur causality (kausalitas) yaitu bahwa kerugian yang diderita pasien disebabkan secara langsung dan nyata akibat pelanggaran kewajiban (duty) dan standar pelayanan kesehatan (standard of care) oleh penyedia jasa kesehatan. Masalahnya, penyedia jasa kesehatan yang mana yang menjadi faktor dominan penyebab cedera pada pasien ? Belum lagi persoalan malfungsi teknologi robotik. Manufaktur pembuat mesin teknologi robotik wajib menyediakan dan menginformasikan buku petunjuk (problem-solving manual) yang jelas dan komprehensif kepada dokter sehingga apabila timbul permasalahan yang mengarah pada KTD, bisa ditentukan apakah murni disebabkan kesalahan dokter (human error), atau malfungsi mesin robotik (error in function) yang dapat menimbulkan tanggung renteng atau tanggung jawab bersama antara dokter dan manufaktur.
- Eksistensi Dalil Volenti Non Fit Iniuria.
Dalam hukum kedokteran, dalil Volenti Non Fit Iniuria menutupkesempatan bagi pasien untuk menuntut ganti kerugian karena pasien tahu dan dengan sukarela menempatkan dirinya sendiri dalam kondisi yang bisa membahayakan dirinya. Dalil ini berkaitan erat dengan prinsip otonomi pasien. Dokter bisa lepas dari pertanggungjawaban hukum sepanjang bisa membuktikan bahwa pasien adalah orang yang kompeten secara hukum untuk memberikan persetujuan dan telah memperoleh informasi yang detail, jelas dan komprehensif terkait operasi telerobotik, termasuk manfaat, risiko dan opsi alternatifnya. Di satu sisi, posisi dokter rentan dengan risiko medis, di sisi lain, pasien adalah pihak yang tidak memiliki pengetahuan dan keahlian yang setara dengan dokter sehingga seolah-olah terjadi ketidakseimbangan relasi atau dalam bahasa hukum acara perdata disebut inequality of arms.
Faktor-faktor tersebut harus ditindaklanjuti dengan membangun sistem hukum kedokteran di bidang telerobotik yang menjamin implementasi salah satu kaidah tertinggi dalam pelayanan kesehatan, yaitu keselamatan pasien (salus aegroti suprema lex est).
Author: Sandra Dini F A (Kantor Hukum Sandra Dini, Nugraha & Rekan).