Apakah Dimungkinkan?

Mediasi adalah salah satu cara penyelesaian suatu perkara hukum (sengketa) diluar pengadilan yang dilaksanakan dengan menghadirkan penengah (mediator) guna menghasilkan suatu kesepakatan yang memuaskan semua pihak berperkara (win win solution). Sifat dari mediasi adalah: (1) sukarela dalam arti bahwa pelaksanaan mediasi adalah kehendak dari para pihak itu sendiri; (2) mediator harus pihak yang netral; (3) rahasia dengan pengetian apa yang menjadi hal yang terjadi pada saat pelaksanaan mediasi adalah bersifat rahasia; (4) dan para pihak harus kooperatif untuk mencapai kesepakatan.

Sebenarnya di Indonesia praktek penyelesaian perkara di luar Pengadilan (terutama melalui Mediasi) sudah lama ada dan telah diimplementasikan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung  (SEMA) Nomor: 1 tahun 2006 tentang Mediasi, dimana di dalam Sema tersebut justru mewajibkan para pihak yang berperkara di Pengadilan untuk melaksanakan mediasi terlebih dahulu. Namun SEMA tersebut lebih dikhususkan untuk perkara perdata saja, belum mengatur mediasi perkara pidana. SEMA ini lebih bertujuan untuk mengurangi beban kerja Pengadilan dengan mengupayakan agar setiap perkara (perdata) dapat diselesaikan diluar Pengadilan.

Indonesia sebenarnya telah mengenal dengan apa yang disebut dengan mediasi perkara pidana. Mediasi Pidana ini atau disebut juga dengan Mediasi Penal adalah mediasi yang dilaksanakan untuk menyelesaikan perkara pidana, prinsipnya dan syaratnya hampir sama dengan mediasi dalam perkara perdata.

Pada paradigma lama perkara pidana adalah suatu tindak pidana wajib diselesaikan melalui jalur Pengadilan untuk mendapat hukuman yang sepantasnya, sedangkan dengan munculnya mediasi penal ini adalah merupakan sebuah paradigma baru dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, dimana suatu tindak pidana tidak harus diputus Lembaga Peradilan guna mendapat hukuman. 

Mediasi penal membutuhkan kerelaan para pihak, pengakuan bersalah dari pelaku, dan pemberian maaf dari korban. Tujuan dari mediasi penal ini adalah pengembalian hak dan martabat korban, termasuk pemulihan kerugian yang disebabkan karena adanya tindak pidana tersebut. Hasil dari mediasi penal yang dituju adalah win-win solution, yang diperoleh melaui proses mediasi, dimana bagi korban mungkin adalah solusi terbaik bagi permasalahnnya itu. Berbeda dengan paradigma lama yang harus melalui proses persidangan yang lama yang menguras energi, psikis, dan pikiran korban, yang ujung dari hasil putusan pengadilan belum tentu memuaskan pihak korban. 

Sebagai contoh adalah dalam Undang-Undang Hak Cipta dan Paten  dimana terdapat pasal yang mengakuisisi penerapan mediasi dalam permasalahan hak cipta dan paten sebelum perkara tersebut di bawa ke ranah pidana. 

Sebagaimana terlihat pada Pasal Pasal 95 ayat (4) Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang berbunyi:

“Selain pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait dalam bentuk Pembajakan, sepanjang para pihak yang bersengketa diketahui keberadaannya dan/atau berada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menempuh terlebih dahulu penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum melakukan tuntutan pidana”.

Sedemikian juga terlihat pada Pasal 15 Undang-Undang Nomor: 13 tahun 2016 tentang Paten yang berbunyi:  

“Dalam hal terjadi tuntutan pidana terhadap pelanggaran Paten atau Paten sederhana para pihak harus terlebih dahulu menyelesaikan melalui jalur mediasi”.

Dari kedua pasal dari dua aturan tersebut di atas menghendaki bahwa sebelum pihak korban mengadukan terjadinya pelanggaran Hak Cipta atau Paten ke pihak berwajib (Kepolisian atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS Kekayaan Intelektual)  harus terlebih dahulu menempuh mediasi. 

Namun demikian menurut penulis yang dimaksud dengan “tuntutan pidana”  sebagaimana dalam Pasal 95 ayat (4) UU Hak cipta di atas, dapat juga diartikan yakni saat Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan pidana mengajukan/menyampaikan Tuntutan (Requisitor). Sedemikian sehingga mediasi masih dapat dilaksanakan pada saat perkara sudah berjalan diperiksa di Pengadilan, dengan tenggat waktu yakni sebelum JPU mengajukan Tuntutan. 

Bagaimana dengan perkara Pidana lainnya selain Hak Cipta dan Paten? Sistem Hukum di Indonesia sudah dikenalkan dengan apa yang disebut dengan Restorative Justisce (RJ) atau Keadilan Restoratif, RJ ini adalah adalah sebuah konsep pelaksanaan mediasi penal yang dapat diterapkan di tingkat penyelidikan maupun penyidikan di Kepolisian, tingkat di Kejaksaan, maupun di Pengadilan.

Aturan mengenai RJ pertama kali diterbitkan oleh internal Kepolisian Republik Indonesia melalui Surat Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol: B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR). Dimana dalam surat ini yang dapat diterapkan RJ adalah perkara-perkara tindak pidana ringan, seperti  pasal 205  (Tipiring), 302 (penganiayaan hewan) , 315 (penghinaan ringan), 352 (mengenai penganiayaan ringan), 373 (penggelapan), 379 (penipuan), 384 (pencurian dengan pemberatan), 407 (merusak barang/hewan milik orang lain), 482 (pemerasan dan pengancaman) KUHP, dengan penekanan perkara tersebut mempunyai kerugian materi yang kecil sehingga dapat diajukan untuk dilaksanakan RJ.

Apabila pada tingkat penyelidikan/penyidikan di Kepolisian belum dilaksakan RJ atau dilaksanakan RJ namun tidak terjadi titik temu maka RJ dapat diajukan kembali di tingkat Kejaksaan, sebagaimana hal di berdasar pada Peraturan Kejaksaan Agung (PerJa) Nomor: 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sedemikian pula RJ dapat juga diajukan di Pengadilan, yakni berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor: 1 tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Syarat Menerapkan Restorative Justice

Dalam tingkat penyelidikan dan penyidikan di Kepolisian syarat suatu perkara dapat dilaksanakan Restorative Justice adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a Perkapolri Nomor: 6 tahun 2019 jo angka 3 huruf a Surat Edaran Kapolri Nomor: 8 tahun 2018, yakni:

  1. Perkara itu tidak menimbulkan keresahan atau tidak ada penolakan dari masyarakat;
  2. Tidak berdampak konflik sosial;
  3. Para pihak yang berperkara sepakat untuk menyelesaikan dengan RJ dan tidak akan saling menuntut;
  4. Dengan Batasan:
  5. Kesalahan pelaku tidak berat;
  6. Pelaku bukan residivis;
  7. Tindak pidana dalam dalam proses tingkat penyelidikan atau apabila sudah masuk tingkat penyidikan adalah sebelum surat pemberitahuan dimulainya penyidikan dikirim ke Penuntut Umum;

Sedangkan di tingkat Kejaksaan berdasarkan Pasal 5 Peraturan Kejaksaan nomor: 15 tahun 2020, memberikan syarat untuk dapat dilaksanakannya Restorative Justise, yakni:

  1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
  2. Tindak pidana tersebut hanya diancam dengan pidana denda atau ancaman hukuman pencara dibawah 5 (lima) tahun;
  3. Kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan tindak pidana itu tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah);

Ternyata apabila perkara tersebut telah masuk Pengadilan masih bisa dilaksanakan Restorative Justice, yang diatur berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Syarat suatu perkara dapat dilaksanakan RJ diatur pada Pasal 6, yakni:

Ayat (1) Hakim menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif apabila terpenuhi salah satu dari tindak pidana di bawah ini: 

  1. tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat; 
  2. tindak pidana merupakan delik aduan; 
  3. tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun
  4. tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil; atau 
  5. tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan. 

Ayat (2) Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal: 

  1. Korban atau Terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian; 
  2. terdapat Relasi Kuasa; atau 
  3. Terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak Terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 

Jika dilihat dari ketiga proses RJ pada tiga tahapan proses pidana seberanrnya  syarat untuk bisa melaksankan RJ hampir sama yakni tindak pidana ringan, kedua belah pihak sepakat untuk melaksanakan RJ, dan Terlapor/Tersangka/Terdakwa belum pernah dihukum sebelumnya. Perbedaannya adalah apabila di tingkat Penyidikan (kepolisian dan Kejaksaan) apabila terjadi RJ dan terjadi perdamaian maka perkara dapat dihentikan, namun di tingkat Pengadilan apabila terjadi RJ dan terjadi perdamaian hanya perkara-perkara tertentu saja yang dapat dihentikan penuntutannya, seperti perkara delik aduan dan perkara anak, selebihnya untuk perkara lainnya apabila terjadi perdamaian maka menjadi petimbangan hakim untuk meringankan hukuman.

Penulis: Widhi Nugraha, S.H., adalah Advokat pada Kantor Hukum SandradiniNugraha&Rekan